Dari berbagai informasi, sudah sering disampaikan bahwa menu ikan adalah menu yang sehat, karena kandungan "lemak baik" yaitu Omega 3. Pertanyaannya, apakah semua ikan dapat digolongkan sehat?
Dari buku Hiromi Shinya, Miracle of Enzymes dan Mukjizat Mikroba, diinformasikan bahwa ikan yang baik adalah ikan-ikan kecil, supaya kita bisa makan tulangnya, yang mengandung kalsium yang diperlukan untuk tulang.
Dari buku Anticancer, diinfokan bahwa ikan sarden adalah salah satu ikan yang baik, bahkan yang kalengan sekalipun.
Pada kedua buku diinformasikan bahwa ikan-ikan besar tidak disarankan, karena mengandung kontaminasi polusi yang tinggi. Maka ikan tuna, tongkol, hiu, adalah jenis-jenis ikan yang tidak disarankan.
Dua ikan yang kabarnya kandungan omega 3 nya tinggi adalah ikan kembung dan bandeng. Tuh kan, murah, terus sehat lagi!
Saya coba diskusikan dengan Pak Wied Harry di Milis Gizi Bayi Balita, berikut kurang lebih penjelasan beliau.
Pada dasarnya memang sudah sangat sulit memperoleh ikan laut maupun ikan tawar yang benar-benar bebas dari polusi dan tambahan zat aditif. Maka saran beliau adalah kita jangan terlalu fanatik dengan jenis ikan tertentu, melainkan melakukan variasi agar tidak terpapar dengan suatu zat polutan tertentu.
Dan opsi terbaik adalah ikan organik, jika memang anggarannya memadai :-)
Beberapa ikan organik yang sering dijual adalah gurame dan nila.
Untuk ikan sarden, Pak Wied menyarankan jika kita dapat memperoleh ikan yang sardin yang segar, bagus. Tetapi jika sarden kalengan, sebaiknya tidak dibiasakan kecuali dalam keadaan terdesak misalnya ketika traveling atau liburan karena tidak ada pembantu :-)
Selamat makan ikan! :-)
Tuesday, June 21, 2011
Friday, June 17, 2011
Kita Perlu untuk Makan Tidak Enak :-)
Menyambung tulisan saya sebelumnya, saya tambahkan beberapa hal tentang perlunya makan yang tidak enak.
Hehe, kali ini lebih ekstrim ya, bukan hanya “kita tidak perlu makan enak”, tapi justru “kita perlu makan tidak enak.”
Baiklah saya akui bahwa itu terlalu ekstrim, mungkin yang lebih tepat adalah “Makanlah yang kita perlukan walaupun tidak enak.”
Pada dasarnya makanan yang terbaik untuk tubuh kita adalah yang sealami mungkin. Buah, sayur mentah, makanan yang diproses tidak terlalu lama. Tentunya, yang terbaik adalah makanan sehat, alami, yang juga enak. Tapi biasanya, makanan sehat seperti itu rasanya kurang enak jika dibandingkan dengan makanan yang kurang sehat :-)
Bagi yang terbiasa makan yang enak, memang jadinya seperti tersiksa. Tapi sebenarnya ini “siksaan” yang kita perlukan.
Pertama, makanan sehat itulah yang sebenarnya dipelukan oleh tubuh kita. Rasa enak hanya “lewat” beberapa detik saja di mulut. Perjalanan panjang makanan adalah bisa sampai 2 jam di lambung, lalu berlanjut sampai beberapa hari di usus, dan beredar ke seluruh tubuh. Makanan yang sehat akan membuat badan kita sehat. Mulai dari organ-organ pencernaan yang dilewati makanan itu sendiri, sampai seluruh organ yang menerima asupan zat-zat gizinya. Dan jika kita makan sehat, daya tahan tubuh akan meningkat, kita lebih kuat melawan penyakit, dan kalau pun sakit, kita akan lebih cepat sembuh.
Kedua, akan ada masanya kita memang tidak bisa menikmati makanan enak. Yaitu ketika kita mulut kita pahit atau mual karena sakit, atau ketika kita memang sudah tidak diperbolehkan lagi memakan makanan enak karena penyakit degeneratif. Jika kita tidak pernah terbiasa makan tidak enak, saat itu akan menjadi saat yang menyiksa. Kita jadi kesulitan untuk bisa makan. Makanan yang diperbolehkan tidak kita sukai, makanan yang kita sukai tidak diperbolehkan :-)Jika sudah terbiasa makanan karena perlu, bukan karena enak, hal ini tidak menjadi masalah lagi.
Kabarnya, kebiasaan makan karena enak ini juga salah satu yang menjadi sebab banyak ibu Indonesia mengalami anaknya sulit makan. Saya pernah berdiskusi dengan seorang remaja Jerman, dia heran dengan iklan-iklan di Indonesia, yang menunjukkan banyak anak sulit makan. Menurut dia hal itu tidak terjadi di Jerman.
Penjelasannya saya dapatkan dari teman lain yang di Australia. Kabarnya di Australia ketika ibu memberi makan anaknya, yang dikatakan adalah "This is good for you." Sedangkan ketika ibu Indonesia memberi makan, yang dikatakan biasanya adalah "Ayo makan, ini enak, Nak."
Mungkin salah satu sebabnya adalah karena di Indonesia banyak pilihan makanan, banyak rempah-rempah, banyak aneka bumbu, sehingga makanan memang bisa dibuat enak. Di luar negeri, rasa makanan memang lebih hambar, tawar, cenderung menampilkan rasa makanan itu apa adanya.
Namun, bagaimana pun adanya rempah dan aneka bumbu adalah karunia dari Allah. Tinggal kita memanfaatkannya dengan tepat, yang sesuai dengan kebutuhan tubuh kita.
Yuk, perbaiki niat makan kita, makan karena perlu, bukan karena enak :-)
Hehe, kali ini lebih ekstrim ya, bukan hanya “kita tidak perlu makan enak”, tapi justru “kita perlu makan tidak enak.”
Baiklah saya akui bahwa itu terlalu ekstrim, mungkin yang lebih tepat adalah “Makanlah yang kita perlukan walaupun tidak enak.”
Pada dasarnya makanan yang terbaik untuk tubuh kita adalah yang sealami mungkin. Buah, sayur mentah, makanan yang diproses tidak terlalu lama. Tentunya, yang terbaik adalah makanan sehat, alami, yang juga enak. Tapi biasanya, makanan sehat seperti itu rasanya kurang enak jika dibandingkan dengan makanan yang kurang sehat :-)
Bagi yang terbiasa makan yang enak, memang jadinya seperti tersiksa. Tapi sebenarnya ini “siksaan” yang kita perlukan.
Pertama, makanan sehat itulah yang sebenarnya dipelukan oleh tubuh kita. Rasa enak hanya “lewat” beberapa detik saja di mulut. Perjalanan panjang makanan adalah bisa sampai 2 jam di lambung, lalu berlanjut sampai beberapa hari di usus, dan beredar ke seluruh tubuh. Makanan yang sehat akan membuat badan kita sehat. Mulai dari organ-organ pencernaan yang dilewati makanan itu sendiri, sampai seluruh organ yang menerima asupan zat-zat gizinya. Dan jika kita makan sehat, daya tahan tubuh akan meningkat, kita lebih kuat melawan penyakit, dan kalau pun sakit, kita akan lebih cepat sembuh.
Kedua, akan ada masanya kita memang tidak bisa menikmati makanan enak. Yaitu ketika kita mulut kita pahit atau mual karena sakit, atau ketika kita memang sudah tidak diperbolehkan lagi memakan makanan enak karena penyakit degeneratif. Jika kita tidak pernah terbiasa makan tidak enak, saat itu akan menjadi saat yang menyiksa. Kita jadi kesulitan untuk bisa makan. Makanan yang diperbolehkan tidak kita sukai, makanan yang kita sukai tidak diperbolehkan :-)Jika sudah terbiasa makanan karena perlu, bukan karena enak, hal ini tidak menjadi masalah lagi.
Kabarnya, kebiasaan makan karena enak ini juga salah satu yang menjadi sebab banyak ibu Indonesia mengalami anaknya sulit makan. Saya pernah berdiskusi dengan seorang remaja Jerman, dia heran dengan iklan-iklan di Indonesia, yang menunjukkan banyak anak sulit makan. Menurut dia hal itu tidak terjadi di Jerman.
Penjelasannya saya dapatkan dari teman lain yang di Australia. Kabarnya di Australia ketika ibu memberi makan anaknya, yang dikatakan adalah "This is good for you." Sedangkan ketika ibu Indonesia memberi makan, yang dikatakan biasanya adalah "Ayo makan, ini enak, Nak."
Mungkin salah satu sebabnya adalah karena di Indonesia banyak pilihan makanan, banyak rempah-rempah, banyak aneka bumbu, sehingga makanan memang bisa dibuat enak. Di luar negeri, rasa makanan memang lebih hambar, tawar, cenderung menampilkan rasa makanan itu apa adanya.
Namun, bagaimana pun adanya rempah dan aneka bumbu adalah karunia dari Allah. Tinggal kita memanfaatkannya dengan tepat, yang sesuai dengan kebutuhan tubuh kita.
Yuk, perbaiki niat makan kita, makan karena perlu, bukan karena enak :-)
Wednesday, June 8, 2011
Makanan Tidak Perlu Enak
Hari ini di kantor saya ada acara makan-makan syukuran, dengan aneka menu prasmanan, yang cukup sehat karena cukup banyak aneka sayuran dan buah.
Terdengarlah percakapan berikut di antara dua karyawan :
Karyawan A : “Bu, kok nggak ngambil sayurnya?”
Karyawan B : “Wah, Pak, saya nggak suka menu-menu sayurnya. Saya sangat pemilih kalau untuk masalah sayur.”
Duh, prihatin sekali mendengarnya. Kalau yang berkata demikian adalah anak-anak, saya masih bisa mengerti. Anak-anak masih mengikuti kesenangan, dan belum berpikir panjang tentang mana yang baik dan mana yang buruk.
Tapi orang dewasa, seharusnya sudah tidak lagi “dikendalikan” oleh kesenangan. Seharusnya orang dewasa sudah menyadari, bahwa makanan itu bukan sekedar kebutuhan di mulut saja dengan rasa yang enak, tetapi lebih jauh lagi adalah kebutuhan tubuh, untuk kesehatan.
Celetukan lain yang juga tadi terdengar adalah :
“Wah, udang dan cumi nih, kalau di sini sih nggak ada kolesterol. Kolesterol adanya di hasil pemeriksaan laboratorium saja.”
“Waduh, makanannya enak-enak semua nih, sampe kekenyangan saya karena ingin mencoba semuanya.”
Maka sebaiknya, makanan itu tidak perlu enak. Karena kalau terlalu enak, kita malah jadi terlena, makan terlalu banyak yang sebenarnya tidak diperlukan tubuh, atau malah kurang baik bagi tubuh.
Dan dari sisi Islam pun, sepertinya sejalan, karena prinsipnya makan dengan menjaga proporsi 1/3 untuk makanan, 1/3 untuk air, dan 1/3 untuk udara, serta berhenti sebelum kenyang. Hal ini akan sulit kita lakukan jika kita disuguhi aneka makanan yang enak-enak.
Terdengarlah percakapan berikut di antara dua karyawan :
Karyawan A : “Bu, kok nggak ngambil sayurnya?”
Karyawan B : “Wah, Pak, saya nggak suka menu-menu sayurnya. Saya sangat pemilih kalau untuk masalah sayur.”
Duh, prihatin sekali mendengarnya. Kalau yang berkata demikian adalah anak-anak, saya masih bisa mengerti. Anak-anak masih mengikuti kesenangan, dan belum berpikir panjang tentang mana yang baik dan mana yang buruk.
Tapi orang dewasa, seharusnya sudah tidak lagi “dikendalikan” oleh kesenangan. Seharusnya orang dewasa sudah menyadari, bahwa makanan itu bukan sekedar kebutuhan di mulut saja dengan rasa yang enak, tetapi lebih jauh lagi adalah kebutuhan tubuh, untuk kesehatan.
Celetukan lain yang juga tadi terdengar adalah :
“Wah, udang dan cumi nih, kalau di sini sih nggak ada kolesterol. Kolesterol adanya di hasil pemeriksaan laboratorium saja.”
“Waduh, makanannya enak-enak semua nih, sampe kekenyangan saya karena ingin mencoba semuanya.”
Maka sebaiknya, makanan itu tidak perlu enak. Karena kalau terlalu enak, kita malah jadi terlena, makan terlalu banyak yang sebenarnya tidak diperlukan tubuh, atau malah kurang baik bagi tubuh.
Dan dari sisi Islam pun, sepertinya sejalan, karena prinsipnya makan dengan menjaga proporsi 1/3 untuk makanan, 1/3 untuk air, dan 1/3 untuk udara, serta berhenti sebelum kenyang. Hal ini akan sulit kita lakukan jika kita disuguhi aneka makanan yang enak-enak.
Tuesday, June 7, 2011
Mikro Hidro dan Panel Surya
Sudah lama saya tertarik dengan pemanfaatan sumber energi alternatif, sebagai pengganti listrik dari PLN. Namun tadinya hanya pada tingkatan berkeluh kesah, bahwa seharusnya pemerintah memanfaatkan sumber daya yang begitu luasnya di Indonesia, arus laut, air sungai, angin, serta tenaga matahari.
Sampai minggu lalu saya membaca di Majalah Nirmala, tentang Ibu Puni, yang bersama suaminya membangun sumber energi mikro hidro, sumber energi bertenaga air yang berhasil menerangi banyak desa yang sebelumnya belum terjangkau listrik.
Saya coba browsing tentang mikro hidro ini, tadinya saya mau coba buat untuk di rumah saya, hehe.. Ternyata, ini pembangkit listrik untuk skala satu desa, huehehehe.. Gak bisa kalau modal air hujan dari talang, hehe.. Gak jadi deh.. :-)
Lalu saya coba browsing lagi, kali ini untuk energi surya. Ternyata sudah ada beberapa penyedia panel surya. Tapi kelihatannya skalanya juga skala pabrik. Dan kalaupun ada yang skala rumah, sepertinya harganya masih sangat mahal.
Mudah-mudahan sebentar lagi ada sumber energi matahari, air hujan, angin, yang bisa digunakan di skala rumah tangga, dengan biaya yang murah.
Aamiin :-)
Sampai minggu lalu saya membaca di Majalah Nirmala, tentang Ibu Puni, yang bersama suaminya membangun sumber energi mikro hidro, sumber energi bertenaga air yang berhasil menerangi banyak desa yang sebelumnya belum terjangkau listrik.
Saya coba browsing tentang mikro hidro ini, tadinya saya mau coba buat untuk di rumah saya, hehe.. Ternyata, ini pembangkit listrik untuk skala satu desa, huehehehe.. Gak bisa kalau modal air hujan dari talang, hehe.. Gak jadi deh.. :-)
Lalu saya coba browsing lagi, kali ini untuk energi surya. Ternyata sudah ada beberapa penyedia panel surya. Tapi kelihatannya skalanya juga skala pabrik. Dan kalaupun ada yang skala rumah, sepertinya harganya masih sangat mahal.
Mudah-mudahan sebentar lagi ada sumber energi matahari, air hujan, angin, yang bisa digunakan di skala rumah tangga, dengan biaya yang murah.
Aamiin :-)
Monday, June 6, 2011
Apakah Harus Semua Serba Organik?
Setelah mengetahui tentang bagusnya bahan makanan organik, apa lagi di dekat rumah saya ada toko yang bisa men-delivery pesanan makanan organik, dalam 6 bulan terakhir hampir seluruh sayur, ayam, telur, dan ikan saya beli yang organik.
Untuk tubuh memang rasanya lebih sehat ya, tetapi untuk kantong agak kurang sehat :-)
Minggu lalu saya mulai baca buku tulisan David Servan-Schreiber, M.D., Ph.D. yang terjemahan Bahasa Indonesianya berjudul Hidup Bebas Kanker, ada saran bahwa ternyata tidak semua bahan makanan beresiko terkontaminasi tinggi, atau walaupun terkontaminasi masih bisa dikupas.
Maka tidak semua harus organik.
Nah, ini dia solusi yang keren. Saya jadi bisa kembali belanja ke pasar, memajukan perekomian rakyat, tapi tetap hidup sehat.
Berikut jenis-jenis makanan yang “wajib” organik : apel, pir, persik, stroberi, ceri, raspberry, anggur, paprika, seledri, buncis, kentang, bayam, selada, mentimun, labu.
Dan berikut jenis-jenis makanan yang tidak perlu organik : pisang, jeruk, jeruk keprok, nanas, jeruk bali, melon, semangka, plum, kiwi, blueberry, mangga, papaya, brokoli, kembang kol, kubis, jamur, asparagus, tomat, bawang merah, bawang putih, terung, kacang polong, radis, alpukat.
Bagaimana dengan daging sapi, ayam, telur, dan ikan? Untuk daging sapi, ayam, dan telur, dan ikan, sebaiknya organik. Sedangkan ikan, lebih baik pilih ikan-ikan kecil seperti makerel, sarden, dan salmon. Hindari ikan besar seperti tuna dan hiu.
Ternyata, lebih banyak jenis makanan yang tidak perlu organik yaaa :-) Yuk kita mulai hidup yang sehat untuk badan, juga sehat untuk kantong :-)
Untuk tubuh memang rasanya lebih sehat ya, tetapi untuk kantong agak kurang sehat :-)
Minggu lalu saya mulai baca buku tulisan David Servan-Schreiber, M.D., Ph.D. yang terjemahan Bahasa Indonesianya berjudul Hidup Bebas Kanker, ada saran bahwa ternyata tidak semua bahan makanan beresiko terkontaminasi tinggi, atau walaupun terkontaminasi masih bisa dikupas.
Maka tidak semua harus organik.
Nah, ini dia solusi yang keren. Saya jadi bisa kembali belanja ke pasar, memajukan perekomian rakyat, tapi tetap hidup sehat.
Berikut jenis-jenis makanan yang “wajib” organik : apel, pir, persik, stroberi, ceri, raspberry, anggur, paprika, seledri, buncis, kentang, bayam, selada, mentimun, labu.
Dan berikut jenis-jenis makanan yang tidak perlu organik : pisang, jeruk, jeruk keprok, nanas, jeruk bali, melon, semangka, plum, kiwi, blueberry, mangga, papaya, brokoli, kembang kol, kubis, jamur, asparagus, tomat, bawang merah, bawang putih, terung, kacang polong, radis, alpukat.
Bagaimana dengan daging sapi, ayam, telur, dan ikan? Untuk daging sapi, ayam, dan telur, dan ikan, sebaiknya organik. Sedangkan ikan, lebih baik pilih ikan-ikan kecil seperti makerel, sarden, dan salmon. Hindari ikan besar seperti tuna dan hiu.
Ternyata, lebih banyak jenis makanan yang tidak perlu organik yaaa :-) Yuk kita mulai hidup yang sehat untuk badan, juga sehat untuk kantong :-)
Bagaimana Dengan Plastik Kemasan?
Pada tulisan saya sebelumnya, saya menyarankan agar kita meminimalkan penggunaan bungkusan makanan dan membawa sendiri kantong plastik untuk belanja.
Lalu, bagaimana dengan plastik kemasan, untuk produk-produk yang “dari sononya” ketika kita beli memang sudah dalam kemasan plastik?
Idealnya, kita memproduksi semua kebutuhan kita, sehingga kita tidak perlu membeli :-)
Snack dan makanan jadi, sebenarnya mudah untuk kita buat sendiri. Sabun cuci, sabun mandi, pembersih lantai pun, sebenarnya bisa kita buat sendiri. Ada komunitas yang mengkhususkan diri untuk hidup mandiri seperti itu.
Tapi itu idealnya :-)
Tahap pertama, yang bisa kita lakukan adalah menggunakan ulang sebanyak mungkin kemasan itu. Plastik majalah misalnya, kita simpan, barangkali kapan-kapan kita perlu pembungkus plastik. Gelas plastik kita bisa gunakan untuk pot bibit tanaman.
Bagaimana dengan kemasan yang tidak bisa kita gunakan lagi? Tetap kita pisahkan juga, untuk kita salurkan ke pemulung, agar bisa didaur ulang. Sambil kita coba belajar, agar kita bisa mendaur ulang sendiri, atau malah sampai ke kondisi ideal, ketika kita bisa membuat sendiri semua kebutuhan kita.
Bagaimana, mudah kan?
Lalu, bagaimana dengan plastik kemasan, untuk produk-produk yang “dari sononya” ketika kita beli memang sudah dalam kemasan plastik?
Idealnya, kita memproduksi semua kebutuhan kita, sehingga kita tidak perlu membeli :-)
Snack dan makanan jadi, sebenarnya mudah untuk kita buat sendiri. Sabun cuci, sabun mandi, pembersih lantai pun, sebenarnya bisa kita buat sendiri. Ada komunitas yang mengkhususkan diri untuk hidup mandiri seperti itu.
Tapi itu idealnya :-)
Tahap pertama, yang bisa kita lakukan adalah menggunakan ulang sebanyak mungkin kemasan itu. Plastik majalah misalnya, kita simpan, barangkali kapan-kapan kita perlu pembungkus plastik. Gelas plastik kita bisa gunakan untuk pot bibit tanaman.
Bagaimana dengan kemasan yang tidak bisa kita gunakan lagi? Tetap kita pisahkan juga, untuk kita salurkan ke pemulung, agar bisa didaur ulang. Sambil kita coba belajar, agar kita bisa mendaur ulang sendiri, atau malah sampai ke kondisi ideal, ketika kita bisa membuat sendiri semua kebutuhan kita.
Bagaimana, mudah kan?
Saatnya Diet Plastik
Pernahkah kita coba menghitung berapa kantong plastik yang kita hasilkan sepanjang hidup kita?
Kita coba hitung per hari ya, saya contohkan untuk seorang ibu bekerja seperti saya yaa..
Pagi hari kalau tidak sarapan di rumah dan tidak membawa bekal dari rumah, maka kita akan jajan di kantor, misalnya mi ayam, bubur ayam, atau gado-gado. Karena tempatnya sempit, kita akan membungkus makanan itu untuk dimakan di tempat kerja. Plus karena ada yang jualan gorengan dan rujak, kita beli juga untuk snack jam 10-an.
Akumulasi plastik : 3 kantong plastik dan 1 styrofoam (bungkus rujak dan gorengan dari kertas).
Siang hari jalan ke mall sekaligus makan siang. Di mall belanja di 3 counter, plus mampir ke minimarket dan apotik. Makan siang di mall, bawa oleh-oleh makanan untuk anak-anak dan suami.
Akumulasi plastik : 3 + 6 kantong plastik dan 1 +1 styrofoam, jadi 9 kantong plastik dan 2 styrofoam.
Sore hari tiba-tiba kehabisan tisu dan perlu beli minyak kayu putih. Maka kita pergi ke minimarket kantor, sekalian juga beli persediaan susu anak-anak yang lebih murah di minimarket kantor. Total perlu 2 kantong plastik.
Akumulasi plastik : 9 + 2 kantong plastik dan 2 styrofoam, jadi 11 kantong plastik dan 2 styrofoam.
Menjelang pulang, ada teman yang jualan bahan baju. Kita beli satu. Biasanya bahan sudah ada kantong plastik beningnya, dan untuk bawa ke workstation, kita pakai kantong plastik lagi.
Pulang kantor, untuk di jalan beli makanan dulu di ibu penjaja makanan, dalam styrofoam dan kantong plastik.
Akumulasi plastik : 11 + 2 kantong plastik dan 2 + 1 styrofoam, jadi 13 kantong plastik dan 3 styrofoam.
Total dalam sehari 13 kantong plastik dan 3 styrofoam. Anggaplah kita tidak tiap hari belanja ke mall, mungkin bisa berkurang menjadi 8 kantong plastik dan 2 styrofoam. Belum termasuk aneka kemasan snack, sabun cuci, shampoo, sabun cair, dll.
Itu hasil dalam sehari, dari kita saja. Dalam sebulan, setahun, sepanjang hidup, silakan dikalikan. Untuk sekeluarga kita, termasuk si mbak yang belanja ke pasar dan anak-anak yang belanja di kantin, silakan ditambahkan. Dengan seluruh keluarga dalam 1 RT, 1 RW, 1 Kelurahan, dan seterusnya.
Plastik membutuhkan ratusan tahun untuk bisa hancur. Bahkan kemasan styrofoam tidak bisa hancur. Suatu hari nanti bisa jadi permukaan bumi sudah tidak sanggup lagi menampung sampah plastik yang kita hasilkan dengan cepat, jauh lebih cepat dari waktu hancurnya.
Itu bicara jangka sangat panjang. Bicara jangka pendek, ternyata produk plastik banyak juga yang membahayakan kesehatan kita, terutama bila terkena makanan yang panas.
Maka, meminjam istilah dari Greeneration Indonesia, sekarang sudah saatnya kita diet plastik. Bagaimana caranya?
1. Kurangi membungkus makanan, usahakan makan di tempat. Jika akan membungkus, usahakan minta bungkus kertas atau kotak kertas. Lebih baik lagi jika kita membawa wadah makanan kita sendiri.
2. Bawalah selalu kantong belanja sendiri. Sekarang sudah banyak yang memproduksi kantong belanja yang bisa dilipat-lipat sehingga bisa kita bawa ke mana-mana.
Jika dua hal itu saja kita lakukan, dalam sehari kita sudah mengurangi menghasilkan 8 plastik dan 2 styrofoam. Silakan dikalikan untuk sebulan dan seterusnya. Ditambahkan dengan seluruh keluarga, 1 RT, dan seterusnya.
Yuk kita bersahabat dengan bumi. Bukan hanya bumi yang membutuhkannya, semua akan kembali ke kita sendiri.
Kita coba hitung per hari ya, saya contohkan untuk seorang ibu bekerja seperti saya yaa..
Pagi hari kalau tidak sarapan di rumah dan tidak membawa bekal dari rumah, maka kita akan jajan di kantor, misalnya mi ayam, bubur ayam, atau gado-gado. Karena tempatnya sempit, kita akan membungkus makanan itu untuk dimakan di tempat kerja. Plus karena ada yang jualan gorengan dan rujak, kita beli juga untuk snack jam 10-an.
Akumulasi plastik : 3 kantong plastik dan 1 styrofoam (bungkus rujak dan gorengan dari kertas).
Siang hari jalan ke mall sekaligus makan siang. Di mall belanja di 3 counter, plus mampir ke minimarket dan apotik. Makan siang di mall, bawa oleh-oleh makanan untuk anak-anak dan suami.
Akumulasi plastik : 3 + 6 kantong plastik dan 1 +1 styrofoam, jadi 9 kantong plastik dan 2 styrofoam.
Sore hari tiba-tiba kehabisan tisu dan perlu beli minyak kayu putih. Maka kita pergi ke minimarket kantor, sekalian juga beli persediaan susu anak-anak yang lebih murah di minimarket kantor. Total perlu 2 kantong plastik.
Akumulasi plastik : 9 + 2 kantong plastik dan 2 styrofoam, jadi 11 kantong plastik dan 2 styrofoam.
Menjelang pulang, ada teman yang jualan bahan baju. Kita beli satu. Biasanya bahan sudah ada kantong plastik beningnya, dan untuk bawa ke workstation, kita pakai kantong plastik lagi.
Pulang kantor, untuk di jalan beli makanan dulu di ibu penjaja makanan, dalam styrofoam dan kantong plastik.
Akumulasi plastik : 11 + 2 kantong plastik dan 2 + 1 styrofoam, jadi 13 kantong plastik dan 3 styrofoam.
Total dalam sehari 13 kantong plastik dan 3 styrofoam. Anggaplah kita tidak tiap hari belanja ke mall, mungkin bisa berkurang menjadi 8 kantong plastik dan 2 styrofoam. Belum termasuk aneka kemasan snack, sabun cuci, shampoo, sabun cair, dll.
Itu hasil dalam sehari, dari kita saja. Dalam sebulan, setahun, sepanjang hidup, silakan dikalikan. Untuk sekeluarga kita, termasuk si mbak yang belanja ke pasar dan anak-anak yang belanja di kantin, silakan ditambahkan. Dengan seluruh keluarga dalam 1 RT, 1 RW, 1 Kelurahan, dan seterusnya.
Plastik membutuhkan ratusan tahun untuk bisa hancur. Bahkan kemasan styrofoam tidak bisa hancur. Suatu hari nanti bisa jadi permukaan bumi sudah tidak sanggup lagi menampung sampah plastik yang kita hasilkan dengan cepat, jauh lebih cepat dari waktu hancurnya.
Itu bicara jangka sangat panjang. Bicara jangka pendek, ternyata produk plastik banyak juga yang membahayakan kesehatan kita, terutama bila terkena makanan yang panas.
Maka, meminjam istilah dari Greeneration Indonesia, sekarang sudah saatnya kita diet plastik. Bagaimana caranya?
1. Kurangi membungkus makanan, usahakan makan di tempat. Jika akan membungkus, usahakan minta bungkus kertas atau kotak kertas. Lebih baik lagi jika kita membawa wadah makanan kita sendiri.
2. Bawalah selalu kantong belanja sendiri. Sekarang sudah banyak yang memproduksi kantong belanja yang bisa dilipat-lipat sehingga bisa kita bawa ke mana-mana.
Jika dua hal itu saja kita lakukan, dalam sehari kita sudah mengurangi menghasilkan 8 plastik dan 2 styrofoam. Silakan dikalikan untuk sebulan dan seterusnya. Ditambahkan dengan seluruh keluarga, 1 RT, dan seterusnya.
Yuk kita bersahabat dengan bumi. Bukan hanya bumi yang membutuhkannya, semua akan kembali ke kita sendiri.
Thursday, June 2, 2011
Mulai Tanam Sayur Lagi
Setelah gagal menanam bayam dan sawi yang tak kunjung muncul, minggu ini saya baca di majalah Trubus tentang urban farming.
Wah, keren banget ternyata ya para urban farmer itu. Mereka memang benar-benar serius, dan akhirnya benar-benar berhasil.
Akhirnya, saya tergerak untuk mencoba lagi menanam sang sawi dan bayam. Kali ini di pot yang lebih besar, dengan benih yang lebih banyak, dan saya letakkan di tempat yang agak tertutup, yang kemarin dipakai oleh calon paprika dan cabai, yang sekarang sudah mulai tinggi.
Sepertinya nanti saya akan berikan juga pupuk organic yang sudah saya beli.
Satu lagi mimpi saya, ingin membuat veggie rack, rak pot untuk menanam sayur. Next project, hehe..
Wah, keren banget ternyata ya para urban farmer itu. Mereka memang benar-benar serius, dan akhirnya benar-benar berhasil.
Akhirnya, saya tergerak untuk mencoba lagi menanam sang sawi dan bayam. Kali ini di pot yang lebih besar, dengan benih yang lebih banyak, dan saya letakkan di tempat yang agak tertutup, yang kemarin dipakai oleh calon paprika dan cabai, yang sekarang sudah mulai tinggi.
Sepertinya nanti saya akan berikan juga pupuk organic yang sudah saya beli.
Satu lagi mimpi saya, ingin membuat veggie rack, rak pot untuk menanam sayur. Next project, hehe..
Labels:
berkebun,
go green,
sayur dan buah,
tanam sayur
Berawal dari Biopori
Sudah lama saya ingin punya sumur resapan. Kabarnya seluruh rumah wajib punya sumur resapan, dan memang perlu untuk mencegah banjir. Dan sayang juga rasanya melihat air terbuang begitu saja. Apa lagi sampai mengambang di selokan dan terjadi banjir.
Namun, karena saya pikir membuat sumur resapan ini cukup rumit, maka saya belum berniat merealisasikannya.
Bulan ini, tadinya saya hanya akan membuat lubang resapan biopori. Tapi setelah diskusi dengan Pak Nur sang tukang, ternyata dia juga sudah pernah membuat sumur resapan. Langsung saya minta dia buatkan juga, dan Alhamdulillah suami saya juga setuju :-)
Menurut Pak Nur, sumur resapan cukup digali sekitar seluas 1 meter persegi, sedalam 2meter. Paling bawah diletakkan batu, kemudian ijuk, lalu pasir, lalu bisa ditutup lagi dengan paving. Sehingga resapan lebih ditujukan pada air hujan yang jatuh ke area resapan tersebut.
Setelah diskusi dengan bos saya di kantor, yang ternyata punya sumur resapan juga, plus baca-baca di internet, ternyata ada juga metode sumur resapan yang lain dari yang dijelaskan Pak Nur. Yaitu kedalamannya sekitar 4 meter, dan setelah pasir dibuatkan ruang kosong untuk penampungan air, sehingga di paling atas dibuatkan beton dan penutupnya. Resapan bukan hanya ditujukan untuk air hujan yang jatuh dia area, tetapi juga untuk air dari talang termasuk air buangan. Dan perlu ada saluran pembuangan, jika tampungan penuh.
Wah, ternyata lebih keren kalau yang ini.
Pak Nur sepertinya tetap dengan rencana awalnya, tetapi dia bersedia untuk menyambungkan talang dan buangan ke resapan tersebut, dan katanya bisa juga dibuatkan pembuangannya.
Kita lihat saja perkembangannya, semoga sukses :-)
Oya, efek samping yang menyenangkan dari pembuatan sumur resapan ini adalah saya jadi punya banyaaaaaaak tanah. Saya bisa penuhi pot-pot saya yang tanahnya sudah mulai menipis. Dan saya berpikir akan menimbun kembali kebun depan saya, dan mencoba membuat taman baru yang lebih keren. Hehe, proyek baru lagi deh :-)
Namun, karena saya pikir membuat sumur resapan ini cukup rumit, maka saya belum berniat merealisasikannya.
Bulan ini, tadinya saya hanya akan membuat lubang resapan biopori. Tapi setelah diskusi dengan Pak Nur sang tukang, ternyata dia juga sudah pernah membuat sumur resapan. Langsung saya minta dia buatkan juga, dan Alhamdulillah suami saya juga setuju :-)
Menurut Pak Nur, sumur resapan cukup digali sekitar seluas 1 meter persegi, sedalam 2meter. Paling bawah diletakkan batu, kemudian ijuk, lalu pasir, lalu bisa ditutup lagi dengan paving. Sehingga resapan lebih ditujukan pada air hujan yang jatuh ke area resapan tersebut.
Setelah diskusi dengan bos saya di kantor, yang ternyata punya sumur resapan juga, plus baca-baca di internet, ternyata ada juga metode sumur resapan yang lain dari yang dijelaskan Pak Nur. Yaitu kedalamannya sekitar 4 meter, dan setelah pasir dibuatkan ruang kosong untuk penampungan air, sehingga di paling atas dibuatkan beton dan penutupnya. Resapan bukan hanya ditujukan untuk air hujan yang jatuh dia area, tetapi juga untuk air dari talang termasuk air buangan. Dan perlu ada saluran pembuangan, jika tampungan penuh.
Wah, ternyata lebih keren kalau yang ini.
Pak Nur sepertinya tetap dengan rencana awalnya, tetapi dia bersedia untuk menyambungkan talang dan buangan ke resapan tersebut, dan katanya bisa juga dibuatkan pembuangannya.
Kita lihat saja perkembangannya, semoga sukses :-)
Oya, efek samping yang menyenangkan dari pembuatan sumur resapan ini adalah saya jadi punya banyaaaaaaak tanah. Saya bisa penuhi pot-pot saya yang tanahnya sudah mulai menipis. Dan saya berpikir akan menimbun kembali kebun depan saya, dan mencoba membuat taman baru yang lebih keren. Hehe, proyek baru lagi deh :-)
Berburu Produk Sehat dan Halal
Sekitar 15 tahun terakhir saya mulai memperhatikan kehalalan makanan. Maka bagi saya, makanan apapun tidak masalah, yang penting ada label halal. Paling bagus jika label halalnya adalah dari MUI atau lembaga halal lainnya. Tingkat kedua adalah yang label halalnya "self claimed", yang walaupun belum terjamin, tapi pertanggung jawaban sudah berpindah :-) Tingkat ketiga, ketika ditanya, sang penjual menjawab "halal" :-)
Juga pada tingkat ketiga adalah, yang walaupun tidak ada label halalnya, kita cek di kandungan (ingredients), tidak ada bahan-bahan yang meragukan. Untuk makanan misalnya gelatin, lesitin, dll. Untuk kosmetik juga gelatin.
Di sisi lain, saya juga memperhatikan kesehatan makanan. Saya anti MSG, dan di rumah tidak pernah masak menggunakan MSG. Hal ini "ditunjang" juga dengan kondisi saya dan anak-anak. Saya biasanya pusing jika makan makanan mengandung MSG. Sedangkan anak saya biasanya gatal-gatalnya kambuh.
Selain itu saya juga mengkonsumsi madu dan propolis, dengan latar belakang kesehatan Islami. Saya juga sudah mulai memilih sayuran organik, namun masih belum menyeluruh, bagi saya organik sekedar lebih baik, sayuran biasa pun masih oke. Selain itu saya masih kesulitan menemukan sayuran organik secara rutin.
Nah di 5 tahun terakhir, perhatian ke kesehatan ini semakin meningkat. Setelah saya membaca buku Hiromi, mengikuti milis Gizi Bayi Balita, mengikuti milis Food Combining, membaca buku pola makan anti kanker.
Saya mulai beralih ke makanan sehat, makanan organik. Pas di dekat rumah saya ada toko makanan organik yang bisa delivery. Cocok sekali dengan saya :-)
Berikut daftar belanja setelah menjadi organik-mania :
1. Garam menjadi garam laut
2. Sayur, buah, ayam, ikan, susu, telur, beras biasa menjadi organik
3. Roti menjadi roti gandum tanpa pengawet
4. Margarin menjadi mentega
5. Minyak sawit menjadi minyak kelapa
Yang sebaiknya dikurangi bahkan dihilangkan :
1. Mi, makaroni, dan aneka pasta yang terbuat dari terigu
2. Roti putih
3. Gula
4. Margarin
Dan yang perlu diperbanyak adalah sayur dan buah :-)
Dan untuk kosmetik, yang sehat adalah yang tanpa pengawet (paraben) dan ftalat.
Kembali ke judul tulisan ini, ada satu hal yang masih memerlukan sedikit usaha. Karena produk yang halal, masih jarang yang peduli dengan kesehatan. Sedangkan produk organik, biasanya buatan luar negeri yang belum terjamin kehalalannya. Ini berlaku untuk makanan, juga untuk kosmetik. Hehe.. seru kan? Mari kita berburu makanan dan kosmetik yang sehat dan halal.
Juga pada tingkat ketiga adalah, yang walaupun tidak ada label halalnya, kita cek di kandungan (ingredients), tidak ada bahan-bahan yang meragukan. Untuk makanan misalnya gelatin, lesitin, dll. Untuk kosmetik juga gelatin.
Di sisi lain, saya juga memperhatikan kesehatan makanan. Saya anti MSG, dan di rumah tidak pernah masak menggunakan MSG. Hal ini "ditunjang" juga dengan kondisi saya dan anak-anak. Saya biasanya pusing jika makan makanan mengandung MSG. Sedangkan anak saya biasanya gatal-gatalnya kambuh.
Selain itu saya juga mengkonsumsi madu dan propolis, dengan latar belakang kesehatan Islami. Saya juga sudah mulai memilih sayuran organik, namun masih belum menyeluruh, bagi saya organik sekedar lebih baik, sayuran biasa pun masih oke. Selain itu saya masih kesulitan menemukan sayuran organik secara rutin.
Nah di 5 tahun terakhir, perhatian ke kesehatan ini semakin meningkat. Setelah saya membaca buku Hiromi, mengikuti milis Gizi Bayi Balita, mengikuti milis Food Combining, membaca buku pola makan anti kanker.
Saya mulai beralih ke makanan sehat, makanan organik. Pas di dekat rumah saya ada toko makanan organik yang bisa delivery. Cocok sekali dengan saya :-)
Berikut daftar belanja setelah menjadi organik-mania :
1. Garam menjadi garam laut
2. Sayur, buah, ayam, ikan, susu, telur, beras biasa menjadi organik
3. Roti menjadi roti gandum tanpa pengawet
4. Margarin menjadi mentega
5. Minyak sawit menjadi minyak kelapa
Yang sebaiknya dikurangi bahkan dihilangkan :
1. Mi, makaroni, dan aneka pasta yang terbuat dari terigu
2. Roti putih
3. Gula
4. Margarin
Dan yang perlu diperbanyak adalah sayur dan buah :-)
Dan untuk kosmetik, yang sehat adalah yang tanpa pengawet (paraben) dan ftalat.
Kembali ke judul tulisan ini, ada satu hal yang masih memerlukan sedikit usaha. Karena produk yang halal, masih jarang yang peduli dengan kesehatan. Sedangkan produk organik, biasanya buatan luar negeri yang belum terjamin kehalalannya. Ini berlaku untuk makanan, juga untuk kosmetik. Hehe.. seru kan? Mari kita berburu makanan dan kosmetik yang sehat dan halal.
Subscribe to:
Posts (Atom)